
SIARAN PERS – No: 02/SP/KPPMPI/X/2025
Jakarta, 27 Oktober 2025 — Laut Indonesia perlahan kehilangan generasi mudanya. Profesi nelayan yang dulu menjadi kebanggaan kini semakin ditinggalkan. Banyak pemuda pesisir lebih memilih bekerja di kapal perikanan asing dengan iming-iming pendapatan yang lebih besar, dibanding melaut di perairan sendiri.
Data menunjukkan, sepanjang 2013–2015 tercatat sekitar 250.000 WNI menjadi awak kapal perikanan (AKP) di kapal asing. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius bagi Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI). Mereka menilai, menurunnya minat pemuda menjadi nelayan dalam negeri akan mengancam keberlanjutan sektor perikanan nasional. “Alasan utamanya adalah pendapatan. Banyak pemuda yang merasa hasil melaut di negeri sendiri tidak cukup untuk hidup layak,” ujar Hendra, Ketua Umum KPPMPI.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2022, terdapat 2,2 juta nelayan kecil di Indonesia — atau sekitar 85% dari total nelayan nasional. Sebagian besar menggunakan kapal berukuran di bawah 5 Gross Ton (GT), dengan daya jelajah terbatas. Namun, menurut Hendra, menjadi nelayan kecil di Indonesia bukan hanya soal keberanian menghadapi ombak. Tantangan utama ada pada akses terhadap modal, kapal, peralatan, dan pasar. Tanpa dukungan yang memadai, pendapatan nelayan cenderung stagnan bahkan menurun.
Ia mencontohkan, bagaimana nelayan kecil di Buru Selatan yang tidak dapat memperbaharui perahu dan alat produksi usaha penangkapan lainnya. Begitupun yang dialami oleh nelayan ikan tuna di Kota Ternate, dimana harga ikan yang tidak sebanding dengan ongkos dan risiko melaut menjadikannya justru “gali lubang-tutup lubang” berhutang kepada juragannya. “Risiko melaut tinggi, tapi tanpa perlindungan sosial yang layak. Tak heran jika banyak pemuda memilih bekerja di kapal asing. Meski risikonya sama, tapi pendapatan dan jaminan sosialnya jauh lebih baik,” lanjutnya.
Berdasarkan penelitian IOJI (Indonesia Ocean Justice Initiative) menunjukkan, pendapatan AKP di kapal asing bisa mencapai US$300–US$1.000 per bulan, sedangkan nelayan di kapal lokal hanya menerima US$9–US$210 per bulan. Selain faktor ekonomi, keterbatasan modal juga membuat banyak pemuda pesisir tidak mampu memiliki kapal sendiri. Kapal milik orang tua pun banyak yang sudah tua dan tak layak pakai, sementara biaya perbaikan tak terjangkau. Kondisi ini memicu gelombang besar pemuda yang bekerja sebagai AKP di luar negeri, meski sangat rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebutkan, pada tahun 2024 terdapat 456 kasus yang menimpa pekerja migran di sektor perikanan, di mana 196 kasus (43%) diduga terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan kerja paksa.
KPPMPI juga menyoroti Indeks Kesehatan Laut (Ocean Health Index/OHI) Indonesia yang berada di peringkat 189 dari 220 negara, dengan skor 61, di bawah rata-rata global (69). Hendra menilai hal ini menunjukkan masih lemahnya keberpihakan terhadap keberlanjutan ekosistem laut dan nelayan kecil.mSebagai perbandingan, beberapa negara tujuan AKP migran seperti Taiwan (peringkat 95, skor 69) dan Spanyol (peringkat 84, skor 70) memiliki tata kelola laut yang jauh lebih baik. Bahkan negara Asia lain seperti Thailand (peringkat 133, skor 66) dan Korea Selatan (peringkat 139, skor 65) masih berada di atas Indonesia. “Indonesia seharusnya bisa meniru langkah Tiongkok, yang sudah memperluas usaha penangkapan hingga laut internasional, meski sama-sama memiliki skor 61. Perbedaannya, mereka sudah punya strategi untuk memperkuat armada dan kualitas manusia-nya (AKP dan Nakhoda),” jelas Hendra.
Melihat kondisi tersebut, KPPMPI mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi tata kelola sektor kelautan dan perikanan, termasuk memperbaiki sistem perlindungan sosial, akses modal, dan menyiapkan nelayan muda yang terampil. “Kami ingin pemuda pesisir kembali percaya diri menjala di laut sendiri. Menjaga pangan, menjaga masa depan,” tutup Hendra.
Sumber: Media Center KPPMPI
