
SIARAN PERS – No: 06/SP/KPPMPI/XI/2025
Jakarta, 6 November 2025 – Banyak anak muda memilih bekerja di kapal perikanan asing dengan iming-iming pendapatan yang lebih besar, ketimbang melaut di perairan sendiri. Data Direktorat Pelindungan Warga Negara Indonesia mencatat, sepanjang 2013–2015 ada sekitar 250 ribu WNI menjadi awak kapal perikanan (AKP) di kapal asing. Angka itu menunjukkan, semakin banyak tenaga muda yang justru mengabdi di laut negara lain.
Kondisi ini membuat Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) khawatir. Ketua Umum KPPMPI, Hendra, menilai menurunnya minat generasi muda untuk menjadi nelayan maupun pembudi daya ikan di dalam negeri bisa mengancam keberlanjutan sektor perikanan nasional.
“Alasan utamanya adalah pendapatan. Banyak pemuda merasa hasil melaut di negeri sendiri belum cukup untuk hidup layak,” kata Hendra.
Namun, di sektor budi daya, tantangan yang dihadapi pemuda tak kalah berat. Untuk memulai usaha, kita harus punya lahan, bibit, pakan, dan kualitas air yang baik, semuanya butuh modal besar.
“Modal menjadi tantangan utama. Karena itu, dukungan pemerintah sangat penting, misalnya dalam bentuk kemitraan atau bantuan permodalan,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana kegiatan budi daya rumput laut Gracilaria di Indramayu. Menurutnya dengan skema lahan sewa, paling tidak membutuhkan modal sekitar Rp. 7.400.000 dengan luas tambak 1 Ha, dan bibit 2 ton. Jika berhasil, bisa mulai panen dari bulan ke empat, setelahnya panen per 45 hari, jadi dalam setahun dapat panen 6 kali.
“Kalau nasibnya baik, dari modal Rp.7.400.00, bisa panen 6 kali, dimana sekali panen 2 ton, atau Rp. 6000.000. Bisa dua kali lipat dari UMK Indramayu Rp. 2.794.237, jadi dalam setahun yang dihasilkan dari kegiatan usaha budi daya rumput laut laba kotornya Rp. 72.00.000, bila harga Rp.6000/Kg. Kondisi idealnya demikian, namun tentu banyak hambatan dan tantangan,” Terang Hendra
Hendra juga menerangkan bahwa dari kegiatan budi daya rumput laut tersebut, bisa menyerap tenaga kerja. Paling tidak dari 1 Ha, bisa terserap 1-2 orang buruh lepas, yang bertugas untuk memanen dari tambak hingga mengeringkannya. Upahnya Rp. 2.700 / Kg berdasarkan rumput laut kering yang dipanen.
“Kalau cuacanya bagus, para buruh lepas tersebut bisa mendapatkan upah Rp. 250.000 – Rp.400.000. Namun, di musim hujan tentu sulit melakukan panen rumput laut untuk saat ini. “Ujar Hendra
Selain soal modal, akses pasar juga menjadi persoalan klasik. Banyak pembudi daya kesulitan menjual hasil panennya dengan harga yang layak. Menurut Hendra, tanpa jaminan pasar, semangat pemuda untuk menekuni budi daya sulit tumbuh.
“Kita perlu membangun narasi positif bahwa bekerja di sektor perikanan, baik tangkap maupun budi daya, itu menjanjikan. Pemerintah bisa membantu dengan memastikan adanya jaminan pasar bagi hasil produksi,” tambahnya.
Sebagai upaya nyata, KPPMPI mendorong agar pemerintah menghadirkan Demonstration Plot (Demplot) di sektor budi daya ikan. Konsep ini mirip dengan praktik di sektor pertanian: memberikan contoh usaha nyata agar pemuda bisa belajar langsung, menguasai teknologi, serta memahami proses produksi dan pemasaran.
“Melalui demplot, pemuda bisa tahu kemampuan apa yang dibutuhkan, modal berapa yang diperlukan, dan ke mana hasil panennya dijual. Tujuannya agar risiko kegagalan bisa ditekan,” jelas Hendra.
Menurut KPPMPI, masa depan perikanan Indonesia bergantung pada seberapa besar kesempatan yang diberikan kepada generasi muda. Dengan dukungan modal, akses pasar, dan pendampingan yang tepat, sektor kelautan perikanan akan mampu menjawab persoalan ketersediaan lapangan kerja sekaligus menekan angka pengangguran.
