Jakarta (ANTARA) – Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir (KPPMPI) menilai anak muda perlu didukung untuk bisa berkontribusi dalam mewujudkan kedaulatan pangan dari laut di tengah tantangan kondisi perubahan iklim.
Ketua Umum KPPMPI, Hendra Wiguna, menegaskan bahwa negara-negara maju saat ini lebih mengutamakan peningkatan nilai tambah produk ketimbang sekadar mengejar kuantitas produksi. Strategi tersebut terbukti mampu meningkatkan pendapatan nelayan, memperluas lapangan kerja, sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya laut. Untuk itu, ia menilai pentingnya membangun pusat pendidikan di kampung-kampung nelayan serta menyediakan teknologi pendukung yang memungkinkan proses pengolahan dan peningkatan nilai produk dilakukan di tingkat komunitas. Dengan cara ini, anggota keluarga nelayan, terutama generasi muda pesisir, dapat terlibat aktif dalam pengembangan usaha perikanan yang lebih bernilai.
Namun, data menunjukkan bahwa keterlibatan generasi muda di sektor ini masih rendah. BPS mencatat pada 2023, hanya 19,20 persen anak muda Indonesia bekerja di sektor perikanan, pertanian, dan perkebunan. Kondisi tersebut diperparah oleh temuan Survei Bank Dunia dan S4YE di 18 negara yang menunjukkan bahwa pendapatan generasi muda yang berprofesi sebagai nelayan maupun pembudidaya ikan justru lebih rendah dibandingkan orang tuanya, masing-masing minus 18 persen dan minus 15 persen. Menurut Hendra, penurunan minat dan berkurangnya jumlah nelayan berpotensi menimbulkan masalah serius, mulai dari berkurangnya ketersediaan pangan hingga terbatasnya kesempatan kerja di sektor yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat pesisir.
Di saat yang sama, perubahan iklim juga memberikan tekanan besar terhadap dunia perikanan. Pendataan KNTI menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim menyebabkan penurunan hasil tangkapan hingga 72 persen, penurunan pendapatan sebesar 83 persen, serta peningkatan risiko kecelakaan laut mencapai 86 persen. FAO pun menyampaikan kekhawatiran, bahwa jika jumlah nelayan terus menyusut, keberlanjutan penyediaan pangan laut akan terancam. Hendra mengingatkan bahwa sangat ironis jika negara dengan laut yang luas justru bergantung pada impor pangan laut karena ketiadaan nelayan yang melakukan penangkapan maupun budidaya ikan.
Dalam konteks kedaulatan pangan yang terus digaungkan pemerintah, Hendra menilai bahwa arah kebijakan penyelenggaraan pangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 harus benar-benar mencerminkan asas kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, keberlanjutan, dan keadilan. Ia menegaskan bahwa kedaulatan pangan mensyaratkan pemenuhan kebutuhan melalui produksi lokal, sehingga sumber daya kelautan, perikanan, dan keberadaan nelayan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya mewujudkannya.
Namun, data menunjukkan bahwa keterlibatan generasi muda di sektor ini masih rendah. BPS mencatat pada 2023, hanya 19,20 persen anak muda Indonesia bekerja di sektor perikanan, pertanian, dan perkebunan. Kondisi tersebut diperparah oleh temuan Survei Bank Dunia dan S4YE di 18 negara yang menunjukkan bahwa pendapatan generasi muda yang berprofesi sebagai nelayan maupun pembudidaya ikan justru lebih rendah dibandingkan orang tuanya, masing-masing minus 18 persen dan minus 15 persen. Menurut Hendra, penurunan minat dan berkurangnya jumlah nelayan berpotensi menimbulkan masalah serius, mulai dari berkurangnya ketersediaan pangan hingga terbatasnya kesempatan kerja di sektor yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat pesisir.
Di saat yang sama, perubahan iklim juga memberikan tekanan besar terhadap dunia perikanan. Pendataan KNTI menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim menyebabkan penurunan hasil tangkapan hingga 72 persen, penurunan pendapatan sebesar 83 persen, serta peningkatan risiko kecelakaan laut mencapai 86 persen. FAO pun menyampaikan kekhawatiran, bahwa jika jumlah nelayan terus menyusut, keberlanjutan penyediaan pangan laut akan terancam. Hendra mengingatkan bahwa sangat ironis jika negara dengan laut yang luas justru bergantung pada impor pangan laut karena ketiadaan nelayan yang melakukan penangkapan maupun budidaya ikan.
Dalam konteks kedaulatan pangan yang terus digaungkan pemerintah, Hendra menilai bahwa arah kebijakan penyelenggaraan pangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 harus benar-benar mencerminkan asas kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan, manfaat, pemerataan, keberlanjutan, dan keadilan. Ia menegaskan bahwa kedaulatan pangan mensyaratkan pemenuhan kebutuhan melalui produksi lokal, sehingga sumber daya kelautan, perikanan, dan keberadaan nelayan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya mewujudkannya.
